Dr. Tania, Pengidentifikasi Penyakit Tanaman
Ketertarikan pada dunia pertanian, mendorong sekelompok mahasiswa dari Informatics ITB bekerja sama dengan jurusan Rekayasa Pertanian menciptakan sebuah aplikasi bernama Dr. Tania yang mampu menganalisa berbagai macam penyakit tanaman. Lewat aplikasi ini, para petani bisa dengan mudah mengidentifikasi penyakit tanaman sekaligus dengan cara penanganannya.
Dr. Tania adalah produk dari PT. Neura Cipta Nusantara (Neurafarm) yaitu salah satu tenant di Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewiarusahaan (LPIK) ITB. Perusahaan tersebut bergerak di bidang pertanian presisi. Neurafarm didirikan pada Agustus 2017 dengan sebuah misi besar, yakni “to modernize the agriculture industry by increasing productivity and efficiency through technology” yang dilatar belakangi dari visi “to end world hunger, improve farmer welfare, and make the world a better place.”
Untuk mewujudkan misi tersebut, Neurafarm bertekad untuk selalu berinovasi dan menyediakan teknologi-teknologi yang mampu membantu para petani untuk mendapat hasil yang lebih banyak secara lebih efisien. Neurafarm beranggotakan Naufalino Fadel Hutomo, Febi Agil Ifdillah, Pebriani Artha, dan Lintang Kusuma Pratiwi.
*Foto: Adi Permana/Humas ITB
Pada 2050 nanti diperkirakan populasi manusia akan bertambah 2 miliar orang, namun di sisi lain lahan pertanian semakin menurun dan sedikit orang yang mau menjadi petani. Dalam kondisi tersebut, dunia harus produksi lebih banyak makanan untuk memenuhi populasi yang tinggi sementara resource sedikit.
“Menurut FAO, tiap tahun 3000 triliun rupiah hilang akibat penyakit tanaman di seluruh dunia. Oleh karena itu, food security ini menjadi isu yang cukup penting sekarang ini. Kenapa hilang, pertama petani tidak tahu cara menangani penyakit tanaman dengan tepat, dan kedua tidak tahu produk apa yang tepat dan bagus untuk menanganinya,” ujar Febi yang juga selaku CO-Founder Neurafarm, menjelaskan tentang latarbelakang mendirikan startup tersebut.
Ia menjelaskan, Dr. Tania adalah aplikasi mobile berbasis chatbot yang mampu mengidentifikasi penyakit tanaman dengan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). “Aplikasi ini basically menggunakan AI dengan cara komputernya dikasih contoh gambar penyakit tanaman sampai ribuan. Nanti komputer akan menganalisa polanya,” jelasnya.
Cara menggunakannya pun sangat mudah. Pengguna hanya perlu memotret bagian tanaman (daun) yang sakit, lalu mengirimkannya ke Dr. Tania, dan dalam beberapa detik Dr. Tania akan memberikan diagnosis lengkap termasuk gejala, cara penanganan, dan juga akses ke produk-produk yang dapat digunakan untuk menangani penyakit terkait.
“Pengguna juga dapat mempelajari lebih lanjut tentang penyakit tanaman dan bagaimana cara bertanam yang baik dengan memanfaatkan informasi yang telah disediakan pada katalog di Dr. Tania,” tambahnya. Pada aplikasi tersebut juga terdapat menu tanya expert secara langsung.
Neurafarm telah mendapatkan beberapa penghargaan untuk produk Dr. Tania di antaranya adalah Juara 3 Business Plan Competition pada 7th Studentpreneur yang diselenggarakan oleh FEB Universitas Indonesia pada awal 2018, Gold Prize di World Invention and Technology Expo (WINTEX) 2018 yang diselenggarakan oleh ITB dan INNOPA, Juara 1 Swiss Innovation Challenge Asia-Indonesia 2018, dan Juara 2 Startup Istanbul Challenge 2018 di Istanbul, Turki setelah terpilih dari 93.200 startup dari seluruh dunia.
Selain itu, produk Dr. Tania telah beberapa kali menjadi produk inovasi yang diperlombakan mewakili Indonesia di berbagai ajang internasional diantaranya pada Microsoft Imagine Cup Asia Pacific 2018 Finals di Kuala Lumpur, Malaysia, Swiss Innovation Challenge 2018 di Basel, Swiss, dan pada Asian Entrepreneurs Awards 2018 di Jepang.
Aplikasi tersebut saat ini baru mampu menganalisis 14 komoditas tanaman dengan 33 penyakit. Kedepannya dia pun berencana untuk menambah jumlah komoditas tanaman dan penyakitnya. Selain itu juga ingin mencoba mengakomodir hasil penjualan para petani. Sebab banyak petani yang ia temui mengeluhkan tentang harga jual yang jatuh. “Kita akan mencoba untuk mendistribusikan langsung dari petani ke pembelinya langsung, tapi kita perlu melihat marketing dahulu,” tambahnya.