Cerita dari Daniar dan William, Dua Alumni STEI yang Tengah Menjalani Studi PhD di Amerika
Belajar di negara lain adalah hal yang tentunya menantang, tapi juga memberikan banyak pengalaman dalam kehidupan. Menjelajahi negara baru, melihat hal-hal yang tak ada di negeri sendiri, dan tentunya belajar dengan banyak orang dari berbagai belahan dunia. Terutama bagi jenjang pendidikan lanjut seperti S2 dan S3, yang memberikan kesempatan lebih luas untuk melakukan penelitian dan bertemu dengan para ahli dari beragam latar belakang.
Belajar di luar negeri masih dianggap sulit dan mahal bagi masyarakat umum, namun kesempatan saat ini sudah jauh lebih terbuka. Beasiswa adalah satu cara, dan yang lainnya adalah melalui program riset. Salah satunya adalah Program Riset Garuda Ilmu Komputer (GIK). “GIK Lab” dibentuk pada tahun 2014 oleh Profesor Haryadi Gunawi untuk mempersiapkan murid-murid Indonesia yang cerdas dan bersemangat membangun bangsa untuk bisa melanjutkan studi lanjut di Universitas kelas dunia, khususnya di Amerika Serikat, dalam area Computer Science and Engineering.
Di dalam program persiapan ini, murid-murid Indonesia akan melakukan riset bersama dengan profesor-profesor internasional terkemuka di University of Chicago dan juga di universitas lain di Amerika Serikat. Misi GIK Lab adalah mencapai sedikitnya 100 mahasiswa PhD di bidang Ilmu Komputer dalam 10 tahun mendatang.
Dua orang alumni STEI yang tercatat sebagai alumni program riset GIK, yaitu Daniar Heri Kurniawan (Informatics ’12) dan William Sentosa (Informatics ’13) berkesempatan untuk berbagi cerita tentang pengalamannya melanjutkan studi di luar negeri. Kini keduanya tengah menjalani studi PhD di Amerika Serikat: Daniar saat ini adalah Research Assistant di University of Chicago, sementara William adalah Research Assistant di University of Illinois at Urbana-Champaign.
Daniar menyebutkan cerita kakak seniornya, Vincentius Martin (Informatika ’10) yang menginspirasinya bahwa dia pun dapat melanjutkan studi PhD di luar negeri. “Saya bertemu dengan beliau (Vincentius Martin, red.) pada akhir tahun 2015. Beliau berhasil diterima di berbagai universitas top dunia selepas S1-nya di ITB. Dari situ saya dijelaskan kalau PhD di Amerika itu tidak memerlukan beasiswa. Kak martin menjelaskan jika PhD itu ibarat kerja dan kita pasti akan mendapat gaji per bulan yang cukup untuk biaya hidup dan biaya perkuliahan. Bahkan rata-rata gaji PhD itu jumlahnya lebih dari pemberian beasiswa LPDP, Fullbright, dan sebagainya.”
Dari situ, Daniar diperkenalkan dengan program riset Garuda Ilmu Komputer (GIK). Pengalaman risetnya itu sangat membantu dalam proses pendaftaran PhDnya. “Saya penasaran dan bertanya, apa bedanya dengan riset di ITB?” katanya, mengenang.
Riset di GIK dikerjakan bersama profesor-profesor dari University of Chicago secara remote. Hasil dari riset tersebut dipublikasikan di Top Conference yang sejajar dengan publikasi ilmiah dari MIT, Stanford, CMU, UC Berkeley, dan universitas yang lain. Modal publikasi tersebut tentu sangat bernilai untuk bersaing saat mendaftar PhD di Amerika. Berangkat dari situ, Daniar mantap menjalani program riset di GIK.
Bagi William Sentosa, belajar di Amerika Serikat adalah hal yang sebelumnya tidak terbayangkan. “Saya awalnya tidak menyangka akhirnya saya (bisa) kuliah di US (Amerika serikat, red.). Bagi Saya, US Merupakan tempat yang luar biasa untuk belajar di bidang informatika. Banyak perusahaan besar dunia yang bermarkas besar di US, seperti Google, Microsoft, dan Amazon,” ujar William. “Saat ini saya bekerja sebagai Asisten Riset (Research Assistant) di Lab. Selain itu, saya juga mengambil beberapa mata kuliah lanjutan di sana.”
Sebelum menjalani program PhD di tempat mereka belajar sekarang, Daniar diterima di tiga universitas lain, dan William diterima di enam universitas. Memilih salah satu di antaranya juga merupakan kerumitan tersendiri. Akhirnya mereka memilih University of Chicago dan University of Illinois At Urbana Champaign, karena bidang risetnya sesuai dengan minat mereka, dan kualitas profesor yang tak perlu diragukan lagi.
Daniar dan William sama-sama memilih Systems sebagai bidang penelitian mereka, namun dengan fokus yang berbeda. “Penelitian saya meliputi Operating and Storage Systems, Distributed (Cloud) Systems. Manfaat dalam bidang tersebut tidak terlalu terlihat oleh orang awam namun sangat krusial dalam era teknologi digital saat ini,” terang Daniar, “riset kami bisa membantu peningkatan kinerja sistem basis data terdistribusi, membantu developer untuk melakukan debugging, mencegah munculnya bug/kesalahan yang sama dalam sistem, dan sebagainya.”
William sendiri berfokus pada bidang System Security and reliability. “Saya ingin membuat sistem yang sudah ada lebih aman dan reliabel (tidak mudah down),” jelasnya.
Setelah melanjutkan studi di Amerika Serikat, keduanya juga sudah punya rencana masing-masing. “Bagi saya, berkontribusi untuk negara itu bukan berarti harus kembali ke Indonesia. Saya ingin membantu agar lebih banyak mahasiswa Indonesia bisa bersaing dan menempuh pendidikan di institusi terbaik di dunia. Hal tersebut akan sulit saya lakukan jika saya tinggal di Indonesia karena saya sendiri belum pernah menemui paper/publikasi, di bidang CS, tulisan murni mahasiswa Indonesia yang lolos di konferensi unggulan.” Daniar menjelaskan. “Berdasar pemikiran tersebut, kelak saya ingin menjadi mentor di GIK jika berhasil menjadi Profesor di salah satu universitas terbaik dunia. Selain itu saya ingin menjadi sociopreneur dan menjalankan start-up company yang akan membantu sektor pertanian di Indonesia, karena petani di Indonesia masih jauh dari kata makmur.”
Sementara itu, William lain lagi. Saya ingin memimpin sebuah lab riset yang besar dan membuat riset di Indonesia semakin maju. Selain itu, saya juga ingin membuat industri Indonesia untuk lebih peka terhadap riset dan aplikasinya.”
Lewat pengalaman keduanya, tentu dapat dilihat kalau belajar di luar negeri, termasuk universitas-universitas top dunia, sangat memungkinkan. Jangan pesimis dan mudah puas adalah kunci. “Targetmu adalah berkuliah di universitas terbaik di dunia yang sesuai dengan bidangmu. Walaupun hal itu sangat sulit, sadarilah jika di dunia ini memang tidak ada yang mudah. Berusaha, gagal, mencoba, gagal lagi, dan teruslah mencoba! Let’s change ‘impossible’ to ‘I’m possible’!” Daniar berpesan. “Teruslah bermimpi besar dan gapai cita-citamu,” William menambahkan.
Daniar juga menulis pengalamannya terkait PhD, belajar di luar negeri dalam situs mediumnya. Semoga pengalaman mereka dapat memberikan semangat bagi mahasiswa yang kini tengah menjalani studi di STEI, dan pastinya bagi yang berminat dalam melanjutkan studi di luar negeri.