Prof. Suhono Harso Supangkat: Ibu Kota Baru Harus Terintegrasi dengan Revolusi Industri 4.0
BANDUNG – Rencana pemerintah memindahkan Ibu Kota Republik Indonesia dari Jakarta ke daerah lain dinilai harus terintegrasi dengan Revolusi Industri 4.0 lewat penerapan sistem pemerintahan berbasis 4.0.
Sistem pemerintahan berbasis 4.0 diyakini akan memudahkan kerja pemerintahan di ibu kota baru karena sistem pemerintahan ini benar-benar memanfaatkan teknologi dalam penerapannya.
“Kehadiran teknologi ini tentu bisa memberikan kontribusi pada bidang-bidang lain, seperti bidang pendidikan, kesehatan, perdagangan, hingga pemerintahan,” kata Guru Besar Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof. Dr. Ir. Suhono Harso Supangkat, M.Eng., dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Rabu (1/5/2019).
Suhono yang juga Ketua Asosiasi Prakarsa Indonesia Cerdas (APIC) itu menuturkan, wacana pemindahan ibu kota kembali mencuat, akhir April lalu. Bahkan, sejumlah daerah diusulkan menjadi pengganti DKI Jakarta, seperti Jonggol, kawasan Kertajati Majalengka, hingga Kalimantan dan Sulawesi yang terus menjadi bahan diskusi.
Masing-masing usulan lokasi ibu kota baru itu disertai dasar dan alasan, seperti biaya, teknis, sosial, keamanan, kenyamanan, ekonomi, hingga lingkungan, termasuk masalah pemerataan dan mungkin politik.
Namun, lanjut dia, masih jarang dibahas beban pemerintahan yang akan diemban oleh ibu kota baru itu ke depan, misalnya di tahun 2045 dimana Indonesia genap merayakan 100 tahun kemerdekaannya. Menurut dia, sisa waktu hingga 25 tahun ke depan cukup untuk merencanakan pembangunan dalam rangka mencapai cita-cita bangsa.
“Transformasi pada hakekatnya adalah perubahan dari satu kondisi ke suatu kondisi yang diharapkan. Makna hijrah yang sering dimaknai pindah lokasi, bisa diartikan juga perubahan,” kata Suhono yang juga dikenal sebagai pakar smart city itu.
Di sisi lain, dalam lima tahun terakhir, masyarakat juga disibukkan hadirnya revolusi industri yang dikenal dengan Revolusi Industri 4.0. Kehadiran disrupsi teknologi, seperti internet of things (IoT), cloud computing, hingga intelligence artificial (kecerdasan buatan) telah mengubah cara pabrik atau industri berproses.
Pemerintahan yang mempunyai fungsi perencaanaan, pelaksanaan, pengaturan hingga pengawasan pembangunan, lanjut Suhono, tentu akan sangat terbantukan oleh teknologi informasi. Kerja pemerintahan, kata dia, akan lebih efektif dalam melakukan observasi, orientasi, keputusan, dan tindakan dalam sistem pemerintahan.
“Beban atau proses yang selama ini dilakukan untuk fungsi administrasi, baik dalam monitoring, pelaporan rapat, bahkan proses pengambilan keputusan, dengan mudah terbantukan oleh teknologi,” jelasnya.
Dia menegaskan, teknologi robot, komputasi, jaringan, hingga kecerdasan buatan sangat dimungkinkan mengurangi beban admistrasi pemerintahan. Bahkan, pemerintah pun bisa melakukan penyimpanan dokumen secara terdistribusi.
“Jika ada bencana, data bisa disimpan secara “mirror” di beberapa lokasi atau yang disebut sebagai Data Recovery Center. Termasuk pertemuan, rapat, koordinasi, juga bisa dilakukan melalui jejaring video, teks, dan suara,” paparnya.
Menurut Suhono, sejatinya, pemerintah juga tengah menyiapkan sistem pemerintahan berbasis elektronik dengan mengacu pada Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan Strategi Nasional Pengembangan E-Goverment dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), meski progressnya belum membanggakan.
“Mungkin karena ekosistem pendukungnya belum siap. Ekosistem itu menyangkut sarana dan prasarana, regulasi, hingga sumber daya manusia,” sebut Suhono.
Dalam kerangka 25 tahun ke depan menuju 100 tahun kemerdekaan Indonesia, kata Suhono, pemerintahan mestinya dengan mudah dibantu oleh teknologi informasi jika progres Making Indonesia 4.0 berhasil.
Upaya pemindahan ibu kota atau tetap di ibu kota lama tetap perlu memperhatikan kebutuhan ibu kota dan kemampuan teknologi dalam membantu tugas dan fungsi ibu kota itu sendiri dalam jangka panjang.
“Roadmap pemerintahan berbasis elektronik (smart government) juga perlu dibuat dan dikaji lebih rinci. Kebutuhan ruang ASN (aparatur sipil negara), pertemuan, dan sistem terdistribusi bisa mengurangi beban ibu kota,” katanya.
Suhono juga memprediksi, pada 2045 mendatang, ASN dan penduduk Indonesia akan diisi kalangan yang kini disebut generasi milenial. Dia menyebut, generasi milenial ini tak memerlukan kantor tetap karena mereka bisa bekerja di “co working space” atau sistem kerja gabungan non-formal lewat dunia virtual.
“Tentu ini akan berpengaruh terhadap rancangan “government co working space”. Masalah infrastructure sharing tidak boleh dilupakan, termasuk masalah keamanan fisik dan virtual. Hoax dan hacker juga perlu di antisipasi lebih baik lagi,” katanya.
Suhono memandang, rencana pemindahan ibu kota perlu dipikirkan lebih masak. Namun, yang lebih penting yakni bagaimana visi atau bentuk pemerintahan yang berakibat pada kebutuhan fisik dan virtual yang saling melengkapi.
“Seiring dengan revolusi industri, maka revolusi pemerintahan juga perlu disiapkan dengan baik. Toll langit, jalan darat, hingga poros maritim harus saling sinergi dalam suatu platform sistem cerdas,” tandasnya.
No Comments