Menjaga Unicorn Indonesia
Jakarta – Makin yakinkah Anda, saya dan kita sekalian, bahwa perubahan prilaku masyarakat signifikan sudah terjadi sekaligus merubah peta ekonomi sosial tanah air begitu tahun 2018 baru masuk awal bulan?
Mari simak data hasil riset Sharing Vision e-Commerce Survey, pada Oktober-November 2017 lalu terhadap 808 responden.
Rerata pengeluaran belanja rumah tangga secara daring (online) sudah melampaui alokasi belanja offline. Misalnya untuk fashion, belanja online sudah Rp594 ribu sementara offline Rp690 ribu, kosmetik Rp 237 ribu atau mengalahkan offline Rp221 ribu, serta buku hobi dan koleksi Rp316 ribu dan offline Rp239 ribu.
Belanja luar jaringan yang masih baik tersisa belanja grosir Rp687 ribu atau lebih besar dari online Rp652 ribu, makanan minuman Rp323 ribu (Rp255 ribu), dan telepon genggam Rp4,61 juta (Rp3,86 juta).
Responden kami yang umumnya di kota besar juga menyebutkan metode online sudah mendominasi keseharian mereka. Sebab misalnya, 90% booking pesawat, 87% transportasi online, serta pembelian pulsa token pra bayar 60%, sudah melalui aplikasi.
Kemudian, dalam estimasi kami, jumlah official store di marketplace tumbuh 300% dengan angka penjualan selalu naik 3-4 kali lipat setiap tahunnya. Bahkan, salah satu marketplace nasional sudah merilis angka penjualan tahunan mereka hingga puluhan triliun!
Maka, pada titik awal ini, penulis mengambil konklusi awal bahwa Indonesia umumnya dan kota besar khususnya jika Indonesia telah dalam arus kencang perpindahan dari platform offline ke platform online. A massive crossover.
Hal ini pula yang membuat unicorn yang belum genap beroperasi 10 tahun, Gojek, berkembang super cepat. Yakni memiliki 2.900 karyawan di 3 negara, 65 juta pengguna, 1,2 juta mitra driver, 300 ribu merchant, serta tersebar ke 75 kota dari Aceh ke Manado.
Capaian ini setara dan sama fenomenalnya dengan sejumlah unicorn lainnya, mulai dari Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak. Fokus kita sebagai anak bangsa, tentu saja, adalah memastikan kepentingan merah putih selalu terjaga dalam fenomena dahsyat ini.
Selain juga, kita harus pastikan bahwa usaha kecil menengah dan wong cilik yang kami prediksikan minimal ada 10 juta orang terkait fenomena crossover ini, mereka tetap terjaga keberlangsungannya sebagai wirusahawan mikro. Berdikari di kaki sendiri harus terlindungi di negeri ini!
War Between World
Kita ketahui bersama bahwa setelah operator seluler, ranah unicorn dan turunannya pun menjadi bidikan investor asing. Sebagai negara dengan pengguna internet sudah lewat dari 50% penduduknya (260 juta), pangsa pasar ini sungguh menggiurkan. Simak tabel di bawah ini.
|
Dari tabel di atas, kita sudah melihat tendensi betapa ngilernya investor asing masuk ke tanah air. Inilah wujud dari konsep diskursus perang mutakhir (war between world) yang harus kita hadapi bersama, manakala rebutan kepentingan di lini teknologi informasi komunikasi (TIK) makin ketat.
Apabila investor luar yang tak berseri duitnya ini tak kita batasi, dijaga koridor usahanya, maka mereka selalu siap menjadi pemilik mayoritas dari pelbagai unicorn di atas. Itu pula yang selalu mungkin yang menjadi motivasi besar mereka.
Jika investor asing yang raksasa ini hanya sekedar leluasa berusaha di tanah air tanpa memberi nilai tambah lokal yang benefisial, maka lagi-lagi kita menahbiskan diri sebagai pasar super gemuk yang hanya bisa menonton kejayaan pelaku TIK asing.
Mari pastikan hal tersebut takkan pernah terjadi, penambahan injeksi modal mereka selaiknya hanya maksimal 49% atau takkan pernah menjadi pemegang saham mayoritas. Jika itu terjadi, maka capital flight di operator seluler bisa berulang.
Karenanya, regulator terkait semestinya menjangkau ranah ini bukan hanya dari sisi penetrasi aplikasi, tapi juga aktif pada pengaturan sekaligus pengawasan secara ketat agar mayoritas saham dari unicorn kebanggaan Indonesia, tak pernah pindah negara!
Jika prinsip dasar ini tidak dilakukan, percayalah bahwa perang mutakhir ini akan banyak kita sekedar padamkan (fire fighting) ketika baranya memuai atau bahkan membakar sesama anak bangsa seperti sudah kita rasakan.
Kita tentu berharap lebih dari itu, bukan regulator yang selalu terengah-engah memadamkan konflik horizontal, tapi pemerintah yang memberikan third way –meminjam istilah ilmuwan Anthony Giddens– terhadap war between world yang tengah terjadi.
Third way mengacu pada penguasan peta masalah secara baik dan benar. Pihak terkait rebutan kepentingan hingga konflik dipetakan, dampak terprediksi jauh-jauh hari, serta pengambilan keputusan ada di pucuk pimpinan tertinggi karena subtansi masalahnya terlanjur menyeluruh.
Sharing Vision juga meminta posisi pemerintah (stance) yang ajeg sedari awal, bukan sekedar menentukan sikap setelah terdesak keadaan. Tapi selalu bersikap visioner, untuk kemudian menentukan stance keadilan yang menyeimbangkan benefit nasional dan peran global. Semoga saja.
*) Penulis, Dr. Dimitri Mahayana adalah Dosen STEI-ITB dan Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Bandung. Diambil dari detikdotcom.
No Comments