Kisah Alumni Elektro menjadi Pengajar Muda Desa Indong (3) “Pak Adi Jangan Pergi…”
Artikel ini bercerita tentang seorang alumni Teknik Elektro STEI – ITB oleh karena itu judulnya saya tambahkan dari judul artikel aslinya. Artikel terbagi – bagi menjadi 4 bagian bercerita dari awal bagaimana bisa menjadi salah satu peserta Indonesia Mengajar sampai pengalaman yang dilalui bersama anak – anak di Desa Indong. Tentunya STEI sangat bangga ada salah satu alumni yang bisa memberikan pengabdiannya untuk bangsa ini, semoga tulisan ini bisa menjadi inspirasi bagi siapapun yang membacanya. (sumber : Kompasiana)
Menuntut ilmu sampai ke luar negeri atau bekerja di perusahaan besar dengan gaji tinggi barangkali tak pernah terbersit di benak anak-anak desa Indong. Hidup dalam akses informasi yang serba terbatas di sebuah pulau terpencil, secara langsung atau tidak, mempersempit ruang imajinasi dalam memilih cita-cita. Adi mencoba memperluas wawasan mereka dengan memperkenalkan sebuah benda bernama “ensiklopedia”.
Murid-murid Adi kebanyakan adalah anak petani. Di desa Indong, mereka tak banyak mengenal profesi lain diluar yang bisa ditemui di sana, seperti petani, nelayan, bidan, atau yang dianggap paling megah: PNS.”Mereka pasti maunya (jadi) itu-itu saja,” kata Adi. Bahkan kadang-kadang cita-cita anak-anak didiknya tak merujuk pada sebuah profesi, misalnya ingin memiliki kapal motor atau speed boat. Apapun keinginan mereka, Adi berupaya menanamkan semangat di benak masing-masing anak. Ia sering menyampaikan pesan kepada mereka.”Kalau mau jadi dokter atau PNS harus lulus SD, SMP, SMA, lalu kuliah. Kalau mau punya speed boat, kalian harus punya uang. Bagaimana untuk punya uang? Harus kerja. Untuk cari kerja, kalian harus lulus sekolah,” ungkap Adi.
Adi menyadari bahwa pengetahuan terhadap pilihan profesi masa depan yang dimiliki anak-anak di sana masih begitu terbatas. Tak bisa dipungkiri, mereka ingin menjadi PNS atau dokter, tidak selalu karena benar-benar ingin, tetapi “hanya” itulah sedikit profesi yang mereka tahu. Dari situ, perlahan-lahan Adi juga mencoba memperluas cakrawala wawasan anak-anak SD Indong. Ia kerap membawa ensiklopedia dan menyuruh murid-muridnya membaca buku itu. Adi melanjutkan apa yang sering ia katakan kepada anak-anak,” Nanti kalau sudah besar, kalian akan lihat apa-apa yang ada di dunia ini. tidak cuma jadi dokter, tentara, atau polisi. Ada juga pekerjaan-pekerjaan seperti astronot, ilmuwan, arkeolog, dan lain-lain.” Ensiklopedia dan paparan Adi itu mulai melahirkan pertanyaan demi pertanyaan di benak anak-anak.“Mereka mulai berpikir dan bertanya-tanya apa yang mereka mau. Akhirnya sekarang ada anak yang cita-citanya jadi astronot. Dan dia tulis ‘Cita-Cita: Jadi Astronot’. Saya bangga setengah mati,” tutur Adi bungah.
Tenggang rasa antarsuku
Selain memperluas wawasan, Adi juga terus berusaha memperkuat nilai-nilai tenggang rasa dan toleransi antarsuku serta antaragama kepada murid-muridnya. Maklum saja, ini masih menjadi isu yang sensitif di sana. Jika ada anak desa sebelah yang datang, misalnya, suasana tegang sering kali tak bisa dicegah. Adi paham isu ini tak bisa diselesaikan dengan jalan pintas. Ketegangan yang tercipta diantara anak-anak sebenarnya juga “turunan” dari generasi orang tua mereka. Adi memberikan gambaran,”Contoh soal saya bilang,’Fikri anak desa tetangga datang mau main bola. Kita harus… a. pukul, b. usir, c. main bola bersama, d. olok-olok.’ Ya kamu enggak kaget kalau enggak ada (anak) yang jawab main bola bersama.”
Menghadapi hal di atas, Adi terus mencoba memberi pengertian yang benar kepada murid-muridnya. Selain itu, ia juga melakukan tindakan nyata dengan mengundang anak desa sebelah main bola bersama. Kebetulan di desa tersebut ada juga rekan Adi sesama pengajar muda yang bertugas. Bahkan usai ujian terima raport, Adi berencana mengajak anak-anak didiknya bertanding sepakbola ke sana.“Jadi gimana mendekatkan antar anak-anaknya dulu,”cetus Adi.
“Pak Adi jangan pergi…”
Mendengar Adi akan meninggalkan desa Indong, tiba-tiba anak-anak berkumpul di depan rumahnya. Tak ada satu kalimat utuh yang keluar dari mulut mereka. ”Saya enggak tahu, mereka cuma bilang ‘Pak Adi…Pak Adi…’ lalu pergi lagi,” cerita Adi. Beberapa saat setelah kejadian itu, secara tak sengaja Adi menemukan surat dari anak-anak yang diselipkan di dalam tasnya.”Ternyata isi surat itu (berbunyi) ‘Pak Adi jangan pergi’. ‘Pak Adi jangan lama-lama ya’.” sambung Adi. Dan pagi hari sebelum ia berangkat, masih ada beberapa anak lain yang datang dengan membawa amplop dan surat masing-masing. Mereka juga menuliskan pesan seperti: ‘Pak Adi jangan pulang’, ‘Nanti ke sini lagi ya’, dan ‘Jangan lupa bawa oleh-oleh buat kita’.
Berkaca pada pengalamannya di atas, Adi berpendapat bahwa masalah pendidikan yang mendesak untuk segera ditangani, terutama di daerah pelosok, adalah ketersediaan guru. Kaum yang bergelar pahlawan tanpa tanda jasa ini merupakan ujung tombak kemajuan pendidikan di suatu daerah. Lebih jauh ia juga mengungkapkan bahwa jumlah guru di sana sebenarnya banyak. Hanya saja sebagian besar terkonsentrasi di kota. Di desa Indong, selain masalah kuantitas, kualitas guru juga perlu ditingkatkan.”Makanya menurut saya, penempatan guru (mestinya) yang baik dan mereka itu benar-benar guru yang berkualitas,” cetus Adi.
Namun, terlepas dari permasalahan ini, ada satu hal yang tampaknya patut dicermati. Niat tulus Adi turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa hingga ke pelosok negeri rasanya mampu menyentuhhati anak-anak SD Indong. Tak hanya pengalaman di atas sebenarnya Adi terharu. Pernah ketika ia sakit, ada murid yang menuliskan harapan agar Adi cepat sembuh. Lebih dari itu, ada juga yang membawakan ikan, pepaya, atau sayuran dari kebun orang tua mereka. “Hal-hal ini membuat saya terkesan dan terharu,” tutur Adi.
(bersambung ke seri 4/terakhir)