Misi Muskil Bernama Vent-I: Wawancara Dr. Ir. Syarif Hidayat dengan Media Indonesia
VENTILATOR kini menjadi salah satu peralatan medis yang amat dibutuhkan. Keberadaannya punya peran vital untuk menekan tingkat kematian dari covid-19. Namun, pada umumnya rumah sakit tak memiliki ventilator dalam jumlah masif. Hal itu membuat banyak pihak berupaya menciptakan ventilator modifi kasi yang lebih kompak dan lebih ekonomis.
Di Tanah Air, salah satu ventilator lokal yang telah dikembangkan ialah Vent-I. Pengerjaannya diinisiasi tim Dr Ir Syarif Hidayat, MT, dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) dari Kelompok Keahlian Ketenagalistrikan ITB. Vent-I ialah alat bantu pernapasan portabel bagi pasien yang masih dapat bernapas sendiri.
Pada 21 April 2020, Vent-I yang juga hasil kerja sama antara ITB, Universitas Padjadjaran (Unpad), dan YPM Salman tersebut telah melewati proses uji produk dari Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) Kementerian Kesehatan RI. Dengan lolosnya uji produk itu, seharusnya Vent-I sudah bisa didonasikan untuk membantu pasien covid-19.
Namun, Syarif menceritakan kepada Media Indonesia, rencana distribusi Vent-I saat ini masih terkendala. Berikut petikannya.
Bagaimana awal penciptaan Vent-I?
Di dalam kasus ventilator, bisa dibilang saya melakukan mission impossible. Alasannya, bahan bakunya banyak tidak ada. Jadi, memang sulit sekali membuat sesuatu dari yang tidak ada. Bahkan, sampai hari ini saya tidak berhasil membeli selang pernapasan dari dalam negeri, dan saya harus mengambil risiko. Risiko dari mission impossible itu ya ghost protocol. Kalau berhasil diakui orang, kalau tidak berhasil dicerca orang.
Dengan misi tak mungkin itu, bagaimana Anda mencari perdanaan dan sumber daya lain?
Untuk menciptakan ventilator, tentu saya butuh dana dan resources. Mengajukan proposal ke pemerintah, bisa-bisa baru tahun depan terealisasi. Tidak ada cara kecuali menggunakan dana Masjid Salman ITB untuk modal. Saya juga memakai ruang masjid sebagai resources pembuatannya karena tidak bisa masuk ke kampus. Di masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang berlaku di Bandung, tidak ada bengkel yang buka juga. Itu sama memulainya di situ.
Saya lalu minta bantuan teman-teman dokter untuk me-review desain saya. Datanglah para dokter yang cerdas sekaligus berani ke Masjid Salman ITB yang sudah berstatus locked out. Risiko harus saya ambil karena saya tidak mau mati hanya dengan menghitung berapa jumlah orang yang sudah meninggal dan seberapa dekat ke rumah saya. Saya tidak mau takut seperti itu.
Apa bahan baku yang menyulitkan?
Bagian utamanya misalnya blower, itu tidak ada di Indonesia. Di Tiongkok bisa dibeli, tapi antre. Datangnya entah beberapa minggu setelah diorder. Saya coba memesan 100 biji tidak dilayani karena kalah saing. Oleh karena itu, saya mencari dari sekeliling, apa yang bisa saya manfaatkan dengan modifi kasi agar sesuai dengan kebutuhan.
Karena saya bukan cuma mau bikin 1 atau 10 unit, melainkan massal agar ada gunanya. Akhirnya saya re-engineering sehingga saya membuat paten sendiri tentang blower ini. Bahannya saya modifikasi dari pompa yang karakteristiknya paling mirip pompa ventilator.
Modifikasinya sukses?
Sampai hari ini blower yang saya ciptakan sudah diuji siang malam. Sampai hari ke-14 masih stabil tanpa mati. Target saya, blower bisa hidup minimal 20 hari tanpa mati sedetik pun. Karena blower itu jantungnya.
Blower yang sempat saya beli di pasaran, yang karakteristiknya paling dekat dengan yang saya butuhkan, setelah sehari, mati. Terbakar. Saya ganti dengan yang lebih besar mesinnya dan jenisnya, malah hanya bertahan 12 jam. Lalu, untuk motor penggerak blower, itu tidak ada industrinya di Indonesia. Akhirnya saya menemukan motor penggerak yang bisa stabil selama 14 hari dari motor toy, motor mainan.
Besar sekali tantangan teknisnya?
Masih banyak komponen lain yang harus saya ganti, misalnya pengatur tekanan. Itu juga tidak ada di Indonesia. Saya berhasil mendapat pengatur tekanan (pressure sensor) yang cocok, satu biji, saya beli berebut dari Tiongkok. Di hari pengujian ventilator di BPFK, pengatur tekanannya rusak. Padahal hanya satu biji.
Solusi yang masuk akal dan aman akhirnya menggunakan tabung kolom air; istilahnya memakai cairan yang lebih baik dari air untuk menggantikan penakar tekanan. Akhirnya saya memakai gliserin yang berat jenisnya 1,25 air. Alhamdulillah dari segi fungsi dapat diterima walaupun ada catatan tidak boleh ada cairan di dalam. Itu bisa dimengerti. Saya harus pikirkan penggantinya. Saya juga harus mencari pembuat per yang bisa bekerja di rumah.
Ya itulah kemudian saya dan teman-teman patenkan alat pengukur tekanan yang bisa memberikan alarm dan venting, katup pengaman tekanan lebih pada ventilator. Itu contoh-contoh tantangan secara teknis.
Kondisi pasien seperti apa yang bisa dibantu dengan ventilator ini?
Ventilator ini hanya menjalankan satu fungsi paling sederhana dari ventilator di ICU rumah sakit, yakni continuous positive airway pressure (CPAP). Itu yang diperlukan untuk menolong pasien secara luas. Yang harus kita lakukan ialah menolong pasien tahap awal, yang mulai sesak napas. Itu bisa dengan fungsi ventilator yang paling sederhana, yakni CPAP.
Itu mengapa saya menciptakan alat yang fungsinya sangat sederhana, tapi penting di awal agar pasien tidak lebih memburuk. Intinya, mencegah pasien masuk ICU. Dengan demikian, saya menciptakan alat yang relatif mudah dan cepat dibuat. Mudah dioperasikan juga karena tak perlu persyaratan seperti ventilator ICU rumah sakit.
Berapa kapasitas produksinya?
Ventilator bisa diproduksi 1.000 unit dalam seminggu walaupun ada komponen yang masih harus impor. Kalau waktunya panjang, tidak masalah, saya bisa mendesain secara linear. Tapi, ini waktunya tidak cukup. Dalam pikiran saya, akhir Mei ini harus sudah selesai semua. Sekitar 2.000 ventilator. Karena dana dari masyarakat saja untuk jadi sebanyak 1.000 ventilator harus saya deliver dalam dua minggu ini. Ini bukan alat diperjualbelikan, tapi untuk didonasikan ke rumah-rumah sakit.
Bagaimana proses perizinan penggunaan Vent-I pascalolos tahap uji?
Kami mendapat bantuan dari Kementerian Kesehatan. Tetapi, harus diakui, negara kita selama ini diatur dengan cara ribet. Niat baik membantu itu pun kadang terhambat aturan internal di kementerian juga. Kami bisa memproduksi 1.000 unit dalam seminggu. Tapi, menurut aturan, setiap satu biji/unit alat harus diuji kembali oleh pihak ketiga, yang memakan waktu 1 jam hanya untuk satu barang.
Kalau barang saya 10 biji dikirim ke pihak ketiga (metrolog) yang ditunjuk Kemenkes untuk memeriksa barang, dan dia punya waktu kerja 8 jam sehari, artinya dalam sehari hanya bisa menguji-loloskan 8 unit. Dalam seminggu hanya 48 alat yang bisa diuji, bahkan harus dites, bukan hanya fungsi, tapi juga ketahanannya lagi. Persis seperti waktu saya type-test dengan BPFK.
Jadi, ventilator belum dapat didonasikan ke rumah sakit?
Barangnya sudah jadi, sudah ada puluhan, sambil kami terus produksi. Tapi, untuk bisa deliver ke rumah sakit, harus menunggu uji pihak ketiga. Kami minta kepada pemerintah, Kementerian Kesehatan, mohon dapat dibantu. Setidaknya dalam masa covid-19 ini. Itu kesulitan ketika kita membuat alat kesehatan di Indonesia. Ribetnya ternyata seperti itu.
Saya setuju harus quality control. Tetapi, tidak dengan cara begini, di mana barang harus dikirim, diuji 1 jam satu biji, kemudian makan waktu lama untuk kirim barang dan hasilnya kembali.
Baiknya seperti apa?
Datangkan saja pemeriksanya, saksikan bahwa ini diuji oleh pabrikannya dengan betul. Kalau sudah betul, silakan dicap, diberi tanda quality control. Belum lagi kenyataan uji klinis ini harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang tak seluruhnya relevan dengan fungsi alat. Alat secara fungsi sudah diuji pada mesin di laboratorium oleh BPFK. Kemudian untuk membuktikan alat cocok dipakai pasien, fungsi itu dicobakan pada pasien. Tidak ada urusan seharusnya dengan urusan-urusan administratif perusahaan. Kebetulan kami perguruan tinggi, bukan perusahaan.
Untuk dimengerti mengapa saya akan sangat terlambat untuk men-deliver barang ini. Sudah seminggu lebih sejak alat ini dinyatakan lulus oleh BPFK, saya belum bisa deliver ke pasien secara resmi. Ini kewenangan di level menteri untuk memberikan kebijakannya, untuk kondisi darurat ini.
Kira-kira berapa lama lagi sampai bisa dipakai di rumah sakit?
Saya tidak tahu. Kami terus bekerja, tapi, kapan ini bisa di-deliver ke masyarakat, harus menunggu hasil uji klinis. Kami pun sudah ambil risiko lagi dengan mulai memesan bahan baku lebih dulu agar tidak terlambat melayani pemerintah. Tapi, pemerintah belum menetapkan sampai hari ini berapa yang harus diproduksi.
Kami dengan dana yang ada sudah mengamankan untuk bahan baku 2.000 unit. Kalau kami baru bergerak setelah ada kejelasan pemerintah, pasti pemerintah juga akan terlambat bergerak. Belum lagi keterlambatan deliver karena barang harus diuji satu per satu oleh pihak ketiga. Entah kapan bisa menolong pasien kita.
Jadi, itu hal yang perlu diperjelas pemerintah?
Saya minta pemerintah tetapkan ingin butuh berapa ventilator dan beri jalan keluar untuk lamanya proses pemeriksaan uji klinis di pihak ketiga agar alat bisa segera dipakai menolong pasien. Bila ada industri-industri yang siap membuat, mereka juga perlu kejelasan. Industri bukan lembaga sosial seperti kami di Masjid Salman ITB. Industri kan harus memperhitungkan untung-rugi. Mereka tidak akan berani beli barang bila tidak ada kejelasan.
Apakah produk Anda memungkinkan untuk diduplikasi industri atau institusi lain?
Untuk masalah menggandakan tidak perlu repot. Saya serahkan ke industri bukan hanya desain, tapi sampai ke moldingnya. Industri hanya tinggal memasang dan merakit. Pompa, pressure censor, casing, sudah saya sediakan dan produksi sendiri. Mereka mau beli sendiri, silakan, tapi setidaknya 2.000 komponen impor untuk 2.000 unit sudah kami beli.
Saya ingin menolong pasien covid-19 dengan cepat. Saya tidak mau terjebak dengan menunggu saja. Saya meminta kewenangan itu kepada Masjid Salman ITB yang menghimpun dana. Saya minta izin ke masyarakat yang memercayakan dana kepada kami. Kami harus bertanggung jawab. (M-2)
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/309785-misi-muskil-bernama-vent-i