Menaklukkan Algoritma, Menyelamatkan Manusia: Masa Depan AI Berbasis Nilai Bangsa
Saya buka artikel ini dengan sebuah refleksi: teknologi, sekuat dan secanggih apa pun, harus tetap tunduk pada nilai-nilai kemanusiaan, bukan sebaliknya.
Kita sedang hidup dalam era yang ditandai oleh lompatan teknologi yang luar biasa, dan salah satu yang paling revolusioner adalah kemunculan dan pesatnya perkembangan Kecerdasan Artifisial, atau AI. AI telah mengubah cara kita bekerja, belajar, berkomunikasi, hingga mengambil keputusan. Ia hadir di ruang kelas, kantor, rumah, bahkan dalam ranah paling privat seperti pola pikir dan emosi kita melalui algoritma personalisasi.
Namun, dalam tiap kemajuan, selalu ada konsekuensi. AI tidak hanya membawa peluang luar biasa seperti potensi peningkatan PDB hingga 12% atau setara USD 366 miliar pada 2030 sebagaimana diproyeksikan oleh Kementerian Komunikasi dan Digital. Ia juga membawa risiko sistemik: tergesernya tenaga kerja manusia, diskriminasi algoritmik, penyebaran misinformasi, dan yang paling mendasar, peluruhan nilai kemanusiaan itu sendiri.
Apakah kita siap? Sayangnya, penilaian UNESCO Readiness Assessment Methodology tahun 2024 menunjukkan bahwa sumber daya manusia Indonesia belum sepenuhnya siap untuk menghadapi AI secara menyeluruh. Masih ada kesenjangan literasi digital, etika, dan pemahaman kritis terhadap teknologi. Tanpa pondasi ini, AI bukan menjadi alat pemberdayaan, melainkan bencana peradaban.
Oleh karena itu, sangat penting bagi kita semua untuk memikirkan ulang pendekatan terhadap AI—dari sekadar efisiensi dan profit, menuju pendekatan yang human-centered. Teknologi harus memperkuat harkat, martabat, dan keberagaman manusia. Kita tidak bisa menyerahkan masa depan bangsa ini pada logika mesin yang kering akan nilai.
Sebagai lembaga pendidikan dan penelitian, ITB percaya bahwa perguruan tinggi memiliki tanggung jawab moral dan intelektual untuk: menjadi penjaga nilai, pembangun integritas keilmuan, dan pengarah etika teknologi.
Dan di sinilah peran Pancasila menjadi sangat relevan. Nilai-nilai seperti religiositas, kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial, adalah kompas moral kita dalam merumuskan masa depan teknologi Indonesia. Tanpa landasan ini, kita berisiko menjadi pasar konsumtif yang dikendalikan nilai dan sistem dari luar, yang belum tentu sejalan dengan jati diri bangsa.
Artikel ini dibuat dalam momen yang sangat simbolik—menjelang Hari Lahir Pancasila dan Hari Orang Tua Sedunia. Dua peristiwa ini mengingatkan kita bahwa: (1) Pancasila adalah fondasi kebangsaan dan arah pembangunan, dan (2) Orang tua adalah pendidik pertama nilai dan karakter, termasuk dalam menghadapi teknologi.
Orang tua hari ini menghadapi tantangan baru: membesarkan generasi digital dalam dunia yang penuh algoritma. Maka, literasi AI, etika digital, dan kritisisme perlu diajarkan sejak dini—tidak hanya oleh sekolah, tetapi dimulai dari rumah, dengan teladan dan bimbingan nilai.
Ada tiga pilar penting yang harus kita cermati bersama:
1. Dimensi geopolitik dan ekonomi global AI — Bagaimana Indonesia bisa berdaulat, bukan sekadar pengguna pasif?
2. Kebijakan dan tata kelola AI — Bisakah kita menempatkan manusia kembali sebagai subjek utama?
3. Pendidikan etika dan nalar kritis dalam AI — Apakah anak-anak kita siap bukan hanya jadi pengguna, tapi juga pembentuk masa depan AI?
Ini bukan hanya diskusi teknis melainkan perbincangan tentang arah masa depan bangsa.
Mari kita jadikan teknologi sebagai pelayan peradaban, bukan tuannya. Mari bersama membentuk ekosistem AI Indonesia yang inklusif, adil, beretika, dan berpijak pada nilai luhur bangsa.
Saya percaya, dari ITB kita bisa memulai langkah penting untuk menghumanisasi AI—menjadikannya alat, bukan takdir.